Melawan Agresi Pelajar
Friday 13 June 2014
0
komentar
"Kekerasan
adalah senjata orang yang berjiwa lemah."
(Mahatma Gandhi, 1869 – 1948)
Kata-kata bijak di atas sangatlah kontradiktif dengan kondisi generasi
bangsa kita saat ini. Beberapa hari yang lalu sejumlah siswa Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) Kharismawita 4 Depok merusak bangku dan memecahkan kaca ruang
kelas sekolah. Senin lalu. Mereka mengamuk karena memprotes keputusan sekolah
yang mengeluarkan 13 siswa yang diduga terlibat tawuran. Karena gedung sekolah
rusak; kegiatan belajar-mengajar terpaksa diliburkan (Koran Tempo, 13/11/2013)
Bagai belati yang mengiris uluh hati terdalam. Kekerasan di kalangan
remaja kian memilukan. Anarkisme remaja tak hanya menghantui kota-kota besar
Megapolitan dan Metropolitan. Di sudut-sudut Desa pun yang dulunya hidup dengan
keluhuran dan kejernian moral, kini sudah tercemari polusi-polusi kenakalan
remaja, seperti tawuran.
Di Indonesia, setidaknya 128
kasus tawuran antar pelajar terjadi pada tahun 2010. Angka melonjak menjadi 100
persen pada 2011, yakni 330 kasus tawuran yang memakan korban 82 pelajar.
Kemudian Januari-Juni 2012, telah terjadi 139 tawuran yang menewaskan 12
pelajar (tvOneNews: 12/11/13)
Fenomena tawuran menunjukkan, bahwa kekerasan benar-benar sudah menjadi
kronis di kalangan remaja di negeri ini. Pertanyaannya, apa yang menyebabkan
mereka terbelenggu dengan kekerasan semacam itu? Apakah ini akibat dari
tontonan kekerasan yang sering disaksikan mereka di media; internet, TV, game online dan sejenisnya? Lalu di mana
hati nurani dan pengawasan orang tua? Apakah mereka tak lagi peduli dengan masa
depan anak-anaknya?
Tontonan Jadi Tuntunan
Teknologi yang melaju pesat menjadi ancaman serius bagi generasi saat
ini. Anehnya orang tua semakin memanjakan anak-anaknya dengan alat-alat tersebut
tanpa ada pengawasan yang serius. Akhirnya, adegan-adegan kekerasan, kriminal
bahkan asusila menjadi konsumsi sehari-hari. Padahal, sebagai usia yang masih
remaja bahkan di bawah umur, semestinya mendapat perlindungan yang super
efektif dari orang tua.
Biasanya kenakalan remaja disebabkan oleh gagalnya remaja dalam melewati
masa transisinya, dari kecil menjadi dewasa, dan juga karena lemahnya
pertahanan diri terhadap pengaruh dunia luar yang buruk. Seperti, tontonan yang
tidak sehat; tayangan kekerasan yang mendorong mereka berprilaku tak sehat
juga.
Tontonan saat ini tak lagi dimaknai sebagai hiburan semata, melainkan
sudah menjadi tuntunan hidup sehari-hari. Aksi brutal di sekolah di atas dan
tawuran yang terjadi di mana-mana menjadi bukti nyata.
Gejolak jiwa pada masa remaja sangatlah berapi-api, mental yang labil
akan mudah dipengaruhi faktor-faktor eksternal yang dilihatnya. Lingkungan yang
tidak sehat, keluarga yang tak lagi hirau dengan perkembangannya akan berdampak
pada tekanan psikis yang mendalam. Akhirnya jadilah young delinquency, berandalan, narkoba, freesex dan sebagainya.
Kelabilan emosi pada masa remaja, erat hubungannya dengan keadaan
hormon. Emosi remaja lebih kuat dan lebih menguasai diri sendiri daripada
pikiran yang realistis. Pada saat itu bimbingan pendidik sangatlah dirindukan
jiwanya agar tumbuh menjadi pribadi cerdas secara emosional (Hurlock: 1990)
Berbagai tontonan yang
dikonsumsi anak-anak akan mudah ditiru sesuka hatinya, tanpa mempedulikan
risikonya. Lalu bagaimana mengatasi arus teklologi yang tak mungkin lagi
dibendung? Apakah kita harus menolaknya? Bukankah teknologi juga memiliki sisi
lain yang menguntungkan?
Cara Melawan
Hemat saya, meningkatnya kekerasan yang dilakukan para pelajar merupakan
akibat dari tontonan yang disaksikannya. Maka tindakan prenventif-persuasif seharusnya menjadi senjata pendidik; orang tua
dan guru sebagai perlawanan guna mengantisipasi kenakalan remaja, seperti
tawuran dan semacamnya.
Usaha pencegahan bisa dilakukan dengan mengenal dan mengetahui ciri umum
dan khas remaja. Mengetahui kesulitan-kesulitan yang secara umum dialami oleh
para remaja. Kesulitan-kesulitan manakah yang biasanya menjadi sebab timbulnya
penyaluran dalam bentuk kenakalan.
Sedang usaha pembinaan, ada empat hal yang bisa dilakukan pendidik. Pertama, menguatkan sikap mental anaknya
supaya mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Kedua, memberi pendidikan bukan hanya dari sisi pengetahuan (knowledge) dan keterampilan saja, namun
pendidikan mental, budi pekerti dan agama harusnya diutamakan.
Terjadinya konflik, tawuran dan aksi kekerasan di kalangan remaja,
diakui atau tidak karena pendidikan di negeri ini masih terlalu menekankan
aspek kognitif dalam kerangka “belajar untuk tahu” (learning to know), sehingga melupakan pentingnya “belajar untuk
mengerjakan kecakapan hidup” (learning to
do),“belajar mengembangkan jati diri”(learning
to be), lebih ironis lagi, tidak menghiraukan “belajar mengembangkan
keharmonisan hidup bersama” (learning to
live together)”
Padahal apabila empat pilar tersebut berjalan beriringan, maka akan
tumbuh dalam jiwa anak didik sikap saling menghargai (mutual respect), sikap saling percaya (mutual trust), dan sikap saling pengertian (mutual understanding).
Ketiga, menyediakan sarana dan menciptakan suasana yang
optimal demi perkembangan pribadi yang wajar. Keempat, memperbaiki keadaan lingkungan sekitar, keadaan sosial
keluarga maupun masyarakat di mana terjadi banyak kenakalan remaja (Singgih D. Gunarsa,1989:140)
Dalam teori sosiologi "penyimpangan perilaku", masalah sosial
terjadi karena kegagalan institusi keluarga "primary
group" serta rusaknya keteladanan yang mendorong individu memilih
proses sosialisasi yang menyimpang.
Peran orang tua dalam mengawasi tontonan sehat bagi anaknya merupakan
langkah mutlak untuk menghadang agresi kekerasan pelajar. Masalahnya bagaimana
mendesak orang tua yang sibuk dengan pekerjaannya, agar mau mendidik dan
mengasuh anak-anaknya dengan baik dan penuh tanggungjawab? Tentunya semua
tergantung kesadaran orang tua.
Pasal 13 UUPA Ayat (1) dijelaskan, "Setiap anak selama dalam
pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggungjawab atas
pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: a.diskriminasi; b.eksploitasi,
baik ekonomi maupun seksual; c.penelantaran; d.kekejaman, kekerasan, dan
penganiayaan; e.ketidakadilan; dan f. perlakuan salah lainnya.
Tontonan kekerasan bisa saja menjadi tuntunan yang menghipnotis
anak-anak bangsa, jika orang tua tak lagi mau mengawasi dan membatasinya.
Teknologi yang semakin canggih dan bebas menjadi ancaman bagi generasi ke
depan. Maka perhatian lebih dan sentuhan lembut orang tua terhadap perkembangan
anak-anaknya menjadi keniscayaan.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Melawan Agresi Pelajar
Ditulis oleh apa aja
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke http://kublogspot.blogspot.com/2014/06/melawan-agresi-pelajar.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh apa aja
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Post a Comment
terimakasih telah singgah, berkomentar lah dengan baik